BISNIS INDONESIA, Jakarta—Perum Perhutani optimistis dapat merealisasikan pembangunan pabrik sagu berka pasitas 36.000 ton per tahun menyusul kerja sama dengan dua perusahaan pelat merah lainnya, yakni PT PLN (Persero) dan PT Batara (Persero).
Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto menuturkan sinergitas dengan dua badan usaha milik negara (BUMN) tersebut menuntaskan hambatan pembangunan pabrik sagu yang selama ini dihadapi perusahaan.
Pasalnya, pabrik sagu yang akan dibangun di Sorong Selatan, Papua Barat tersebut sempat tertunda pembangunannya lantaran terhentinya lelang dan kesulitan mendapat pasokan listrik.
Awalnya, perum menargetkan groundbreaking pabrik dapat dilakukan pada Juli 2013. “Ini kan proyek pionir, tidak banyak orang yang mau membangun pabrik di pedalaman Papua. Kalau sama-sama BUMN ada kepastian,” ujarnya dalam ke sepakatan kerja sama di kantor pusat PLN, Jumat (6/9).
Adapun terkait dengan hambatan listrik, Perum Perhutani telah merangkul PT PLN (Per sero) untuk membangun pembangkit listrik biomassa berbahan baku limbah sagu.Pabrik sagu di Distrik Kais, Sorong Selatan, Papua Barat tersebut diestimasi membutuhkan pasokan listrik sebesar 3 megawatt. “Untung ada teknologi baru dengan biomassa. Tadinya mau pakai batu bara, tapi darimana batubaranya? Kalau pakai minyak Rp20.000/liter, kan tidak mungkin,” tutur Bambang.
Adapun peran PT Barata (Persero), lanjutnya, adalah pengadaan mesin konstruksi pabrik sagu. Kerja sama dengan Barata dimaksudkan untuk menekan importasi mesin. “Kalau impor, rusak, kita harus panggil orang Jerman, ada cost lagi. Mungkin mesin utamanya bisa impor, tetapi yang lainnya dipasok Barata,” jelasnya.
Total investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik sagu diestimasi Bambang mencapai Rp200 miliar. Khusus untuk pabrik, dibutuhkan modal sebesar Rp100 miliar-Rp120 mi liar.
Namun, apabila ditambah ongkos pembukaan hutan, investasi Perhutani untuk proyek ini ditaksir maksimal Rp150 miliar. Terkait dengan produksi, Bambang memaparkan sumber bahan baku berasal dari areal seluas 17.000 ha yang telah mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK).
Dari luas tersebut, sekitar 10.000 ha terdapat pohon sagu alam dengan kerapatan 200 pohon per hektare. Dengan sumber bahan baku tersebut, Bambang optimistis pabrik bisa memproduksi hingga 100 ton/hari atau 36.000 ton sagu/tahun. “Per hari kami akan produksi 100 ton sagu. Dari satu pohon itu sagu basahnya 1 ton dengan rendemen sekitar 20%,” ungkapnya.
PLN melalui anak usahanya PT Prima Layanan Nasional Enjiniring akan memasok listrik untuk pabrik pengolahan sagu milik Perhutani tersebut.
Dirut PLN Nur Pamudji mengatakan, pembangkit listrik ini juga akan mengaliri daerah sekitar. Nilai pengembalian investasi pembangkit sekitar Rp40 miliar per megawatt, sehingga jika ditotal investasi tersebut sebesar Rp120 miliar. Pembangkit biomassa, ujarnya, memang lebih mahal tujuh kali lipat daripada pembangkit listrik tenaga diesel.
“Selama ini PLN tidak memiliki pembangkit biomassa karena permasalahan bahan baku, kecuali jika memang berada di perkebunan sawit atau hutan sagu seperti ini,” katanya di Jakarta, Jumat (6/9). Pembangkit listrik biomassa dari sisa kulit sagu akan dibangun di area hutan sagu milik Perhutani. (Inda Marlina/Ana Noviani)
Jurnalis : Inda Marlina
Bisnis Indonesia | 07 September 2013 | Hal.9