Neraca.co.id – Demi mengamankan pasokan bahan baku gondorukem, Perum Perhutani berencana mengembangkan tanaman pinus jenis unggul seluas 62.500 hektare (ha) di lahan milik sendiri. Gondorukem adalah bahan baku untuk industri kertas, plastik, cat, batik, sabun, tinta cetak hingga kosmetik. Potensi gondorukem di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta ha. Namun, yang baru termanfaatkan hanya sebesar 154.000 ha.
Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto menuturkan, tanaman pinus baru yang bakal dikembangkan Perhutani memiliki hasil sadapan sebanyak 6 metrik ton per tahun per ha. “Tanaman pinus itu nantinya untuk memenuhi pasokan bahan baku pabrik gondorukem selama 10 tahun ke depan,” paparnya, akhir pekan lalu.
Perusahaan milik pemerintah ini memiliki delapan pabrik gondorukem dan terpentin. Sumber bahan bakunya berasal dari lahan pinus milik Perhutani yang mencapai 865.000 hektare. Adapun, areal yang bisa menghasilkan tahun depan seluas 166.000 ha. Sumber bahan baku lain dipasok dari Bali, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lain di luar Jawa.
Menurut Bambang, saat ini Perhutani masih memegang rekor sebagai produsen gondorukem dan gumrosin (getah padat dari pinus dan tanaman lain) terbesar di Asia Tenggara. Namun, meski sebagai produsen terbesar, kompetisi di masa mendatang bakal semakin kuat. “Sehingga perlu inovasi dan teknologi supaya produksi Perhutani tetap kompetitif dan memenuhi harapan pelanggan,” jelas Bambang.
Demi mengingatkan produksi dan inovasi itulah, maka Perhutani memutuskan membangun pabrik derivatif gumrosin di Pemalang, Jawa Tengah. Perusahaan merogoh kocek Rp 198,8 miliar untuk mendirikan pabrik tersebut.Pabrik seluas 2,5 hektare itu diprediksi mampu menghasilkan nilai tambah 1,5 hingga empat kali lipat dari pendapatan Perhutani sebelumnya.
Lebih jauh lagi Bambang menuturkan produk gondorukem memang punya prospek bagus. Selama ini, bisnis gondorukem mampu menyumbang 30% pendapatan tahunan Perhutani.Saban tahun, Perhutani mampu memproduksi gondorukem 55.000 ton dari delapan pabriknya. Sekitar 20% diserap pasar domestik, sementara 80% diekspor ke Asia dan Eropa. “Kami juga ekspor ke Amerika Serikat dan Australia, tetapi jumlahnya tidak begitu besar,” ujarnya.
Sayang, krisis ekonomi yang terjadi di Eropa saat ini membuat pasar gondorukem masih fluktuatif dan kurang kondusif. Akibatnya, hingga semester pertama tahun ini, Perhutani baru menorehkan pendapatan Rp 1,3 triliun. Jumlah itu setara 35% dari target pendapatan sepanjang tahun ini yang mencapai Rp 3,7 triliun.
Pendapatan tahun ini ditargetkan bisa lebih tinggi 19% dibandingkan realisasi tahun lalu, yaitu Rp 3,1 triliun. “Minimnya pencapaian target hingga paro pertama, karena kami kesulitan memasarkan produk gondorukem ke Eropa akibat krisis,” tukas Bambang.
Produsen Terbesar
Indonesia menjadi negara terbesar ketiga setelah China dan Brasil untuk kontribusi produksi gondorukem di dunia. Volume produk gondorukem Indonesia yang diperdagangkan setiap tahun sekitar 90.000 ton.
Sebelumnya Industri Kecil dan Menengah (IKM), khususnya produsen batik mulai kesulitan mendapatkan bahan baku. Selama ini, pasokan gondorukem atau getah pohon pinus yang merupakan salah satu bahan penguat warna dalam pembuatan batik, banyak yang diekspor.
“Banyaknya negara yang memproduksi batik menyebabkan pasokan gondorukem semakin sulit didapatkan. Saat ini produksi gondorukem nasional hanya 80.000 ton per tahun dan dipasok dari PT Inhutani I dan III di Sumatera dan Sulawesi. Sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai 70 ribu ton per tahun, namun ada kekurangan sekitar 20.000 ton per tahun karena bahan baku tersebut banyak diekspor,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Euis Saedah.
Euis mengatakan saat ini batik sudah mulai mendunia dan banyak negara yang ikut memproduksi batik seperti Indonesia. Sejumlah negara yang memproduksi batik antara lain Malaysia, Turki, China serta negara di Afrika dan Eropa Timur. “Saat ini sudah ada 15 negara yang ikut membuat batik seperti Indonesia. Mereka memproduksi batik sendiri sesuai dengan corak alam dan lingkungan mereka,” ujarnya.
Kemenperin melalui Direktorat Jenderal IKM akan melakukan penambahan mesin produksi gondorukem. Selain itu pemerintah juga berharap Inhutani mengurangi ekspor dan memprioritaskan kebutuhan gondorukem dalam negeri. “Untuk meningkatkan produksi gondorukem, pemerintah akan membeli satu mesin produksi gondorukem seharga US$300 juta. Untuk menambah kekurangan gondorukem, produsen batik banyak mengimpor dari China,” tuturnya.
Euis menambahkan, masalah pendanaan di sektor IKM masih menjadi kendala. Selama ini pihak perbankan kurang tertarik untuk mengeluarkan dananya untuk IKM. “Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada sector IKM masih sangat minim. Pemerintah berharap perbankan bisa membantu pendanaan bagi pelaku IKM,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan, Gita Wiryawan menyebut bahwa pasar ekspor terbesar batik Indonesia adalah Amerika, Eropa dan Jepang. “Pasar utama kita Amerika, Jepang dan Eropa,” sebut Gita.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Perdagangan (Kemendag), dari tahun 2006 hingga 2011, pangsa pasar eskpor Batik ke Amerika menduduki peringkat pertama. Tercatat pada tahun 2011, pangsa pasar ekspor Batik ke Amerika sebesar 35,63 dengan nilai US$ 24,668 juta.
Semenlara pangsa pasar Eropa secara komunal berada pada urutan kedua. Kemudian diikuti Jepang dengan pangsa pasar sebsar 10,90 % dan nilai US$ 7,547 juta. Lebih lanjut, Gita menguraikan bahwa nilai ekspor Batik ke semua Negara tujuan, sempat mengalami puncak di tahun 2008 hampir 100 juta dolar AS, tepatnya US$ 93,09 juta.Setelah itu, turun seiring pengaruh dari krisis global. “Karena pasar utama kita Amerika, Jepang dan Eropa, yang tiga-tiganya mengalami penurunan dari pertumbuhan ekonominya, mengalami berbagai macam masalah ekonomi. Hingga dapat dikatakan batik itu menjadi item yang mereka akan kurangi pembeliannya,” kata dia.(iwan)
neraca.co.id::Minggu, 07 Oktober 2012