Radar Bromo, Pesuruan – Kelurahan Ledug, Kecamatan Prigen, adalah satu di antaranya sebaran lokasi penghasil cengkih di Kabupaten Pasuruan. Kondisi demografi yang berupa dataran tinggi Pegunungan Arjuno menjadikan cengkih sebagai salah satu komoditas andalan masyarakat ini. Di antaranya di Lingkungan Jeruk, kelurahan setempat.
Produktivitas tanaman yang sudah ada sejak dahulu kala ini pun cukup menjanjikan. Itu, terlihat dari hasil panen cengkih yang terus menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2012 lalu misalnya. Produktivitas cengkih dari daerah ini mencapai 60 ton. Angka tersebut meningkat menjadi 72 ton pada tahun berikutnya. Kemudian, menembus 80 ton pada 2013 lalu.
Yang membanggakan, peningkatan itu justru terjadi saat luasan lahan semakin berkurang. Sebab, dari 60 hektare lahan yang tersedia, saat ini, lahan yang dinilai produktif tinggal 50 hektare. Dimulai dari perbatasan Desa Dayurejo hingga Lingkungan Paras, desa yang sama.
Keberadaannya cukup merata, baik di pekarangan atau halaman rumah warga, kebun, hingga lahan milik Perhutani Semuanya dikelola oleh paia petani cengkih yang berjumlah sekitar 100 orang.
“Meski di beberapa tempat menurun, sejauh ini untuk komoditas cengkih masih cukup baik,” kata Kasiman, bendahara kelompok Puspa Tani Makmur, asal Lingkungan Jeruk, Kelurahan Ledug, kemarin. Menurut Kasiman, meningkatnya hasil panen cengkih dalam beberapa tahun terakhir membuktikan hal itu.
Cengkih Ledug sendiri mengalami panen sekali dalam setahun. Yakni, antara Agustus-September, atau hanya dua bulan saja. Meski begitu, hasil panen diyakini tidak kalah dengan di daerah lain. Seperti Tutur, Kabupaten Pasuruan, dan Wonosalam, di Kabupaten Jombang.
Sebab, menurut Kasiman, berbeda dengan di tempat lain, cengkih ledug memiliki kadar minyak cukup tinggi. Kondisi itu mempengaruhi aroma yang dihasilkannva. Terutama untuk bahan utama rokok dan cerutu.
“Cengkih Ledug memiliki kadar minyak tinggi dan aroma yang khas. Beda dengan di tempat lainnya, tidak kalah bersaingnya. Saat ini memasuki pembentukan tangkai awal, belum menginjak buah ataupun panen,” tukasnya.
Lalu, untuk banyak dan tidaknya hasil di dapat tiap kali musim panen, hal itu bergantung pada kondisi cuaca. Bila curah hujan sedang tinggi, proses fotosintesis tanaman cengkih membutuhkan waktu relatif lama, tidak seperti tanaman pada umumnya. “Pembentukan tangkai hingga menjadi buah dan dapat dipanen, butuh waktu selama empat sampai lima bulan. Cukup lama. Makanya itu, setahun hanya panen sekali,” jelasnya.
Sayangnya, tingginya produktivitas cengkih belum mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan petani setempat. Banyaknya para tengkulak atau pengepul yang berseliweran membuat harga cengkih keiap turun naik ujung-ujungnya, para petani yang tetap dirugikan.
Diakui Kasiman, lemahnya teknologi pengolahan memaksa petani memilih menjual hasil cengkih dalam kondisi mentahan. Karena itu, ia pun berharap pemerintah, dalam hal ini Dinas Pertanian atau Perkebunan memberikan perhatian dalam hal olah hasil cengkih. “Dengan begitu, harga jual cengkih juga akan tinggi. (Vaad)
Radar Bromo | 24 Februari 2014 | Hal. 40