Rajamandala, Keindahan Terpendam

img8-2PIKIRAN RAKYAT (19/11/2016) | Kawasan Rajamandala dan kawasan Sungai Citarum menjadi lokasi menyimpan keindahan alamnya yang merupakan unsur lokasi perkebunan, hutan, aliran air, dan telaganya. Kawasan yang kini menjadi lintasan ke Bendungan Saguling tersebut menyimpan potensi kebangkitan seperti zaman jayanya dahulu.
Adalah lokasi Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro serta Perkebunan Rajamandala yang masih menjadi daya tarik kawasan Rajamandala. Apalagi dengan lokasi yang cukup dekat dari Bandung, kawasan Rajamandala masih menjadi tempat bagi masyarakat untuk menikmati keindahan alam dengan suasana tenang serta sejuk.
Berdasarkan sejumlah catatan, keindahan kawasan Rajamandala juga sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda sampai tahun 1942 lalu. Sejumlah orang Eropa sering berjalan-jalan ke kawasan Rajamandala dengan menikmati Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro dengan lintasan asri di Perkebunan Rajamadala, lalu ke Cisameng, Gunung Guha, dan Cihea. Pesona kawasan Rajamandala dicatat orang Belanda, SA Reitsma dan VVH Hoogland, dalam bukunya, Gids van Bandoeng en Midden Priangan, diterbitkan tahun 1927 yang arsipnya disimpan dalam Colonial Architecture Town Planning yang diinisiasi Technische Universiteit Delft, Belanda. Mereka mengisahkan kenangannya, di mana orang-orang Eropa dari Bandung yang menuju Rajamandala untuk menikmati kawasan Sanghiang Tikoro merupakan sebutan warga pribumi orang-orang Sunda yang artinya adalah “tenggorokan” Sungai Citarum.
Disebutkan, pada masa-masa itu, para pelancong yang berasal dari Bandung menuju ke kawasan Sanghiang Tikoro biasanya menggunakan angkutan kereta api dengan berhenti di Stasiun Rajamandala. Dari situ, para pelancong menggunakan angkutan sado dengan menempuh waktu selama setengah jam lalu ke selatan melintasi Jalan Raya Rajamandala Bandung-Cianjur.
Perjalanan terus melewati Perkebunan Rajamandala yang saat itu mengusahakan komoditas karet dan teh. Tepian Perkebunan Rajamandala juga sering menjadi tempat pangulinan serta tempat janjian berkumpul orang-orang yang akan berlibur menuju Sanghiang Tikoro.
Disebutkan, ada pula para pelancong dari Bandung yang menggunakan mobil dengan melintasi Jalan Raya Cipatat Bandung-Cianjur. Memasuki KM 36 dari Bandung di kawasan Rajamandala, berbelok ke kiri menuju Perkebunan Rajamandala.
Dari Perkebunan Rajamandala, perjalanan kemudian melintasi Desa Cisameng yang merupakan sumber belerang dengan dilintasi Sungai Cisameng. Orang-orang Eropa mengetahui, belerang di desa tersebut memiliki manfaat untuk pengobatan, apalagi memunculkan sumber mata air panas yang suhunya sampai 50 s.d 100 derajat Celsius.
Mereka menceritakan, orang-orang Eropa menikmati air panas di Desa Cisameng, umumnya melihat adanya saluran air panas melalui pipa terbuat dari bambu yang dialirkan di antara batu-batu besar. Air hangat tersebut dialirkan ke kamar mandi kecil yang alas maupun temboknya dibuat dari susunan batu-batu kecil. Begitu pula orang-orang pribumi, memanfaatkan aliran air hangat dari pipa bambu tersebut untuk mencuci dan berendam menyembuhkan penyakit.
Di antara kawasan tersebut, katanya, orang-orang Eropa sering asyik keluar masuk gua yang berada di lokasi itu. Kawasan alam .yang berdaya tarik berada di sekitaran Sanghiang Tikoro dan Desa
Cisameng yang dinilai lengkap dengan suasana alam perkebunan, mata air, dan sumber air panas.
Disebutkan pula, pada masa itu pinggiran Sungai Cisameng berikut suasana perkampungan yang dikelilingi pegunungan, merupakan tempat mengasyikkan bagi orang-orang Eropa yang berwisata dengan berjalan-jalan menaiki kuda. Rute berjalan-jalan menggunakan kuda rata-rata 20 menit, kemudian tujuan akhir adalah kembali ke Perkebunan Rajamandala untuk kemudian pulang ke Bandung.
Kini di tahun 2016, kawasan Sanghiang Tikoro dan Sanghiang Heuleut berada pada wilayah Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan, sedangkan Perkebunan Rajamandala adalah bagian Kebun Panglejar dengan dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII. Perkebunan Rajamandala yang kini mengusahakan tanaman karet seluruhnya, sebelumnya sempat melekat dengan ikon pengusahaan tanaman kakao.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan Cjurrota Ayun, Yono Sutrisno yang kesehariannya berada di lingkungan Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro, menyebutkan, alam indah kawasan tersebut diketahui dunia, walau belum kembali menggebyar sebagai kawasan wisata. Setiap hari Sabtu dan Minggu biasanya puluhan orang sering bermain-main ke Sanghiang Heuleut, misalnya asal Eropa, Korea, Jepang, serta sejumlah pelancong lokal asal Bandung dan sekitarnya.
Pada hari Sabtu dan Minggu, katanya, cukup lancar menempuh perjalanan memasuki gerbang kawasan Waduk Saguling dari Jalan Raya Rajamandala. Walaupun di pertigaan ada pasar tradisional, hari pasar bukanlah hari Sabtu dan Minggu, tetapi Senin, Rabu, dan Jumat.
Asper Rajamandala Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan Perum Perhutani, Harry Soedjana mengatakan, kawasan tersebut dianggap sebagai keindahan alam yang terpendam, tetapi belum sepenuhnya dikelola secara bisnis. Lokasi Sanghiang Heuleut berada di atas kawasan Sanghiang Tikoro, dalam suasana musim kemarau airnya berwama hijau indah sehingga seringkali kedua lokasi itu mirip Grand Canyon di Pangandaran.
 
Sumber : Pikiran Rakyat, hal. 22
Tanggal : 19 November 2016