Sekolah Primata di Ciwidey

Orang utan Care Centre and Quarantine (OCCQ) milik Orang utan Foundation International (OFI) bukan satu-satunya sekolah bagi primata. Di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ada Pusat Rehabilitasi Primata Jawa yang dikelola oleh Aspinal Foundation. Tak hanya melatih primata untuk siap dilepas ke alam, pusat rehabilitasi ini juga menjadi tempat penampungan dan perawatan beberapa owa dan lutung yang cacat dan sakit, seperti Neneng, lutung Jawa berusia 3 tahun 6 bulan.

Dari luar, Neneng tampak sehat. Tapi sebetulnya lutung hitam polos sebesar kucing dewasa itu mengidap simian retrovirus (SRV). Penyakit itu sama seperti HIV, yang belum ada obat atau vaksin penangkalnya. Ketika Tempo mengunjungi pusat rehabilitasi itu, akhir April lalu, Neneng tengah menikmati dedaunan dan pisang kecil di atas nampan plastik. Karena penyakitnya, Neneng ditempatkan di kandang karantina seukuran bus kecil, terpisah dari lutung lain.

Neneng kini tinggal sendirian. Pada 26 Juni 2011, dia dipindahkan bersama induk dan kakaknya dari Javan Langur Center di Malang. September lalu, Dani, kakaknya yang tiga tahun lebih tua, mati. Orang tua mereka, Ewon dan Ijem yang berusia 13 dan 14 tahun, lebih dulu berpulang pada September 2011 dan April 2012. Semuanya akibat simian retrovirus. Ewon dan Ijem merupakan lutung hasil sitaan dari warga di Majalengka, Jawa Barat. Di kandang rehabilitasi Malang, keduanya sempat kawin dan melahirkan 2 anak.

Menurut dokter hewan di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa di Ciwidey, Zulfi Arsan, penyakit simian bisa menular ke manusia yang tergigit lutung. “Karena itu jangan pelihara lutung di rumah,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Hewan IPB itu. Lain lagi dengan bayi lutung Jawa bernama Moni. Satwa sitaan dari pedagang hewan itu dalam kondisi kurus, gizi buruk, mengalami infeksi kulit, dehidrasi, kurang aktif, dan cacingan karena hanya diberi makan nasi dengan kecap. Kini sebuah lampu sorot dinyalakan ke kandang perawatan Moni yang kerap menggigil kedinginan. “Primata hasil sitaan umumnya pasti cacingan,” ujar Zulfi.

Penyebab utamanya karena menu yang salah dan kandangnya kotor. Seekor owa Jawa bernama Puput, 11 tahun, memiliki masalah lain. Owa yang sejatinya hidup di atas pohon dan mengandalkan tangan untuk bergelayut dan pindah ke pohon lain itu justru lebih banyak berjalan dengan kaki. “Dia belum jadi owa sejati,” kata Zulfi.

Lebih dari 10 tahun, Puput dipelihara warga di Banjaran, Kabupaten Bandung, sehingga tidak terbiasa memanjat pohon. Kondisinya tidak layak untuk hidup di alam liar karena mudah dimangsa predator atau ditangkap lagi oleh pemburu. Pusat Rehabilitasi Primata Jawa di Ciwidey yang mulai beroperasi sejak 2011 didirikan Kementerian Kehutanan di lahan 12 hektare milik Perhutani. Lokasinya berada di lembah kaki Gunung Tikukur pada ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan laut.

Penghuninya kini berjumlah 24 ekor dari tiga jenis primata, yaitu surili, owa, dan lutung. Sebagian besar satwa itu merupakan hasil sitaan petugas dari tangan pemelihara atau pedagang satwa. Sisanya dari pemberian sukarela warga, serta pindahan dari tempat rehabilitasi lain atau kebun binatang.

Tujuh owa dan lutung, misalnya, berasal dari Taman Satwa Port Lympne dan Howletts di Inggris yang tiba pada awal Februari lalu. Di tempat itu, semua primata seperti disekolahkan agar bisa hidup mandiri di alam liar. Kalau dinilai sulit kembali ke hutan, mereka akan menghabiskan sisa umurnya di pusat rehabilitasi dan menjadi obyek penelitian primata.

Sumber : Koran Tempo, Page 13
Tanggal : 27 Juni 2013

Share:
[addtoany]