BISNIS INDONESIA, JAKARTA (1/8/2016) | Mengemban tugas yang tak mudah sebagai Ketua Upaya Khusus Percepatan Investasi Pertanian, Kementerian Pertanian. Kepada Bisnis, ia menceritakan betapa dinamisnyatugas di lapangan, belum lama ini. Berikutpetikannya.
Bagaimana upaya Anda memastikan ketersediaan lahan untuk investasi di bidang pertanian?
Memang persoalan lahan ini kerap menjadi masalah dalam investasi. Setelah izin pendaftaran selesai dalam tiga jam di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), investor harus sudah mempersiapkan lahannya.
Ini kerap mengganjal, sehingga realisasi investasi di dalam negeri tidak setimpal dengan komitmen investasi yang didapatkan. Untuk itu, kami siap melakukan pendampingan agar investor mendapat kepastian lahanuntuk investasinya.
Pendampingan itu dilakukan oleh tim terpadu dari Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru-baru ini ikut disertakan juga.
Bagaimana memaksimalkan sinergi dengan sejumlah kementerian, terutama Kementerian BUMN yang baru bergabung dalam tim terpadu tersebut?
Saat ini kan banyak lahan dan kawasan hutan yang dikuasai oleh BUMN seperti Perum Perhutani dan anak usahanya. Makanya, Kementerian BUMN dilibatkan agar dapat mempercepat proses penyediaan lahan untuk investasi.
Bagaimana cara tim ini bekerja dan menyelesaikan persoalan lahan?
Memang investor tidak boleh dilepas dalam menyiapkan lahan. Apalagi, Indonesia memiliki wilayah luas, dan masyarakat yang cukup heterogen. Itu juga membuat pendekatan dalam penyelesaian masalah di setiap daerah itu berbeda-beda.
Untuk menyelesaikan itu, kami harus terus melakukan komunikasi dengan berbagai pihak mulai dari gubernur, bupati, wali kota, hingga tokoh masyarakat Melalui komunikasi itu, kami harus dapat memastikan kepastian ketersediaan lahan untuk investasi.
Masalah apa yang kerap Anda temui dalam penyediaan lahan untuk investasi?
Memang cukup banyak dinamika di lapangan saat saya ikut memastikan ketersediaan lahan untuk investasi. Hal itu disebabkan banyak lahan dan kawasan hutan yang dikuasai oleh rakyat dan tumpang tindih perizinan.
Biasanya, investor tidak dapat melanjutkan izin lokasi yang telah diterimanya dari kepala daerah, karena ada masalah tumpang tindih di lahan tersebut. Setelah dicek, temyata lokasi yang diizinkan itu tumpang tindih dengan lahan masyarakat,lindung, dan lokasi yang izinnya sudah dimiliki pihak lain.
Terkadang, setelah dilakukan pengecekan utang, investor hanya memiliki lahan 1.000 hektare dari 5.000 hektare yang diizinkan. Kami harus memilah lokasi mana saja yang layak untuk dilanjutkan, dan tidak berpotensi memunculkan konflik.
Di situ kami harus menggunakan pendekatan yang tepat, agar masyarakat dan pejabat pemerintah daerah mau aktif menyelesaikan persoalannya. Percepatan itu juga nantinya akan menguntungkan daerah, karena ada investasi yang dapat menggerakkan perekonomian di daerah.
Bagaimana cara Anda memastikan komitmen investor kepada masyarakat pemilik lahan, dan tidak ada yang merasa dirugikan?
Awalnya, kami melakukan komunikasi dengan sangat intensif hingga ada kompromi dan kesepakatan yang ditandatangani bersama di hadapan kami.
Meski begitu, pemerintah perlu membentuk lembaga perwalian untuk mengontrol kemitraan, agar berkelanjutan dan tidak ada eksploitasi. Pemerintah juga harus memfasilitasi supporting system untuk mendukung proses produksi secara berkelanjutan.
Bagaimana evaluasi perencanaan lahan untuk investasi pertanian selama semester pertama tahun ini?
Saat ini ada 700.000 hektare untuk pabrik gula. 1 juta hektare untuk pengembangbiakan sapi, dan 500.000 hektare untuk budi daya jagung. Dari jumlah tersebut, 13 perusahaan yang ingin mengembangkan pabrik gulanya membutuhkan 200.000 hektare.
Kemudian 14 perusahaan yang ingin membangun pabrik gula baru membutuhkan 286.000 hektare, 10 perusahaan pengembangbiakan sapi mengajukan 206.000 hektare, dan tiga perusahaan budi daya jagung menginginkan 10.000 hektare.
Selama 6 bulan bekerja, kami telah menyelesaikan 9.050 hektare untuk pengembangan pabrik gula yang sudah ada, 46i.282 hektare untuk pabrik gula baru, 986 hektare untuk pengembangbiakan sapi, dan 2.000 hektare untuk budi daya jagung.
Apa saja kendala dalam menyiapkan lahan untuk investasi.
Sekitar 90% hutan produksi yang dapat dikonversi berada di Papua, dan investor tidak tertarik karena alasan infrastruktur, sosial, dan akses. Banyak investor yang sudah memiliki izin lokasi dari Bupati, tetapi tidak diproses lebih lanjut
Masih adanya lahan milik perusahaan dan Perhutani yang tidak dimanfaatkan secara optimal juga membuat tantangan penyediaan lahan ini cukup berat. 0
Tanggal : 1 Agustus 2016
Sumber : Bisnis Indonesia