Sorgum dan Aren Sangat Potensial

Di antara sejumlah komoditas serbaguna bernilai tambah yang digenjot terus berkembang, adalah komoditas sorgum agar masyarakat memperoleh banyak manfaat. Pengembangan industri dan pemasarannya dilakukan melalui pola budi daya secara agroforestry, diarahkan usaha strategis penunjang ketahanan pangan, ketahanan energi, dan pelestarian lingkungan.

Pengembangan usaha sorgum juga sejalan upaya mengatasi masalah BBM, terutama untuk bahan baku bioetanol. Pengusahaan tanaman sorgum ditunjang pemasaran agresif dilakukan di Jabar sejak tahun 2008, yang direncanakan dikembangkan industrialisasi pada 2012.

Pasca kampanye pengembangan produksi bioetanol oleh pemerintah pada 2006, upaya ini mutlak memerlukan peran pemerintah secara berkesinambungan. Soalnya, langkah ini cenderung belum dioptimalkan dalam bentuk integrasi produksi dan pemasaran bioetanol selaku bahan bakar nabati (BBN).

Melihat perkembangan, banyak pemangku kepentingan meminta pemerintah segera secara nyata langsung berperan mengatur industri bioetanol. Jika pemerintah sudah mampu berperan, diharapkan pasokan maupun harga bioetanol, mampu menjadi pilihan diandalkan masyarakat dan industri dibandingkan BBM.

Pengembangan produksi bioetanol berbahan baku sorgum, yang dilakukan secara agroforestry dimotori PT Bakti Usaha Menanam Nusantara Hijau Lestari (BUMN HL) I. Perusahaan yang dibiayai konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agroindustri, Perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara II-VI, PT Pupuk Kujang, Perum Jasa Tirta II, dan PT Sang Hyang Seri tersebut tengah mencoba mengembangkan produksi bioetanol, produksi pangan, pakan, yang bahan bakunya memanfaatkan pembudidayaan sorgum secara agroforestry dalam rangka program penghijauan sepanjang DAS Citarum.

Menurut Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PT BUMN HL I, Ali Rahman, harus ada perusahaan pemerintah yang terjun serius dalam produksi bioetanol secara terintegrasi. Peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesuai dengan UU 19 tentang BUMN untuk industri pioner yang belum dilakukan swasta maupun badan usaha lain, maka BUMN mempunyai tugas untuk itu. Oleh karena itu, pengembangan BBN dalam rangka membangun kemandirian energi nasional, mutlak tahap awal keterlibatan BUMN.

Selain itu diharapkan pemerintah melalui BUMN, dalam hal ini PT Pertamina dan PT PLN, mampu mengatur dan menjamin kontinuitas produksi maupun pemasaran bioetanol, karena ke depan akan menjadi buruan masyarakat. ”Tampaknya, Indonesia akan tergiring kepada situasi wajib menggunakan bioetanol untuk sejumlah sektor. Ini upaya mengantisipasi situasi terpaksa muncul dari tanaman pohon aren atau disebut pula kawung, yang tergolong komoditas spesifik Jabar. Selain digunakan produksi gula dan kolang-kaling, pohon aren dapat dimanfaatkan bahan baku bioetanol dari niranya,

Sejak tahun 2009, pengembangan kembali usaha tanaman aren di Jabar sudah dilakukan, misalnya di Kab. Bandung. Tahun 2012 ini pengembangannya dilakukan di sekitar DAS Citarum, dengan bibit berpotensi produksi 30-40 liter/pohon/hari. Walau hasil panen baru diperoleh 6-7 tahun ke depan, masyarakat yang membudidayakan tak perlu menunggu lama memperoleh pemasukan. Soalnya usaha tanaman aren dilakukan secara agroforestry. Artinya, komoditas tanaman semusim juga dikembangkan seperti sorgum, kacang-kacangan, dll, di sela-sela pohon-pohon kayu-kayuan.

Menurut Ali, dari komoditas sorgum dan aren, saat ini bahan baku yang sudah siap memasok bahan baku produksi bioetanol adalah sorgum, Pengembangan BBN dari sorgum dan aren dapat mencontoh pengembangan BBN di Brazil, di negara itu dibuat dari tebu, Maka Indonesia dapat membuat dari nira dan biji/batang sorgum, yang diproduksi untuk bioetanol saat harga gula naik.

“Jika antara produksi tanaman-tanaman alternatif/bahan baku dari masyarakat disejalankan dengan serapan dan industri dari pemerintah, urusan pemenuhan pangan dan energi jadi tidak masalah. Karena bahan bakarnya, berasal dari sumber daya lokal (resource based industry), sekaligus menjaga ketahanan energi nasional di tengah gejolak harga BBM dunia dan tingginya permintaan BBM,” ujarnya.

Pada tahun 2012 ini, kata Ali, pengusahaan tanaman sorgum secara agroforestry di Jabar sudah dikembangkan ke Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Tahun 2008 sudah ada uji coba pengembangan areal dan penanaman sorgum di lahan Perhutani yang tersebar Indramayu, Mojokerto Purwodadi (sekitar Waduk Kedung Ombo Jawa Tengah).

Kebijakan sangat diperlukan, agar masyarakat mau menanam. Kesiapan modal dapat dilakukan dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN. Ali juga mengatakan, dengan pengembangan pembudidayaan sorgum dan aren, Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir habisnya sumber bahan bakar minyak, Dengan catatan, program nasional tersebut berpihak kepada kepentingan rakyat dan secara konsisten.

Yang penting, katanya, agribisnis dan agroindustri tanaman-tanaman bahan baku bioetanol dan biodesel sudah terbiasa dilakukan oleh masyarakat, Ini harus didukung kebijakan pengembangan industri dan harga yang menarik dari pemerintah.

Direktur Utama BUMN HL I, Zulfi R Pohan, senada Direktur Agroforestry, Dedi Setiadi Sukarya, mengatakan, pembangunan pabrik bioetanol oleh BUMN HL I berlokasi di sekitar Bandung. Kapasitas terpasang pabrik bioetanol, untuk sorgum 20.000 liter/hari. Kebutuhan modal pembangunan pabrik tersebut sekitar Rp 20 miliar per pabrik, “Kami sebenarnya sedang memprosesnya kepada Kementerian BUMN. Sekitar 10 persen subsidi energi, dapat dimasukkan ke pengembangan bioetanol, jika BBN ini dianggap penting BBN bioetanol harus dibantu,” katanya. (Kodar Solihat/”PR”) ***

Pikiran Rakyat :: 2 April 2012, Hal. 25

Share:
[addtoany]