Sriyatin. Nama itu bagi pedagang ayam pasar Ngawi, penjual sayuran keliling, bahkan pemilik resto, tidak asing. Sebuah poster “Sriyatin Ayam Potong” ukuran lumayan panjang menurut teras sebuah rumah di Dusun Pancuran, Padas, Kabupaten Ngawi. Nyamiran, pria 34 tahun yang bertempat tinggal di RT 01 RW 04, Dusun Pancuran, Desa Pancing, Padas, Ngawi adalah pemiliknya.
Sebagai peternak ayam potong yang ulet dan ramah, ia merintis usaha sejak 2004. Sepuluh tahun lalu bersama sepuluh orang warga desa usaha kelas kampong itu dimulai. Bermodal awal Rp 2 juta, Nyamiran mulanya “nebeng” peternak lain dengan cara menitipkan 500 ekor ayamnya. Ketika beberapa peternak mulai ambruk dan gulung tikar, Nyamiran justru mampu bertahan dan semakin maju. Bahkan ia bisa mendirikan kandang di tanah milik keluarga seluas 1 ha.
Alasan menggeluti ternak ayam potong sederhana. Lebih cepat menghasilkan uang. Ayam petelur butuh enam bulan menghasilkan telur. Ayam potong hanya butuh 30 hari sampai 45 hari siap potong dan dijual. Bibit ayamnya dibeli dari Magetan. Pakannya jagung digiling dan dicampur dengan pur. Untuk 100 ekor ayam dibutuhkan enam sak atau 300 kg pakan. Tiga minggu sekali Nyamiran membeli sedikitnya 150 kg sak pakan ayam masing-masing berisi 50 kg seharga Rp 50 juta.
Harga ayam potong kini Rp15 – 22 ribu per kg. Dalam sehari, Nyamiran menerima pesanan ayam potong rata-rata dua sampai lima kuintal. Pada hari-hari besar atau musim hajatan pesanan mencapai delapan sampai sepuluh kuintal. Dalam satu tahun, sedikitnya Nyamiran panen ayam potong 20 kali dengan jumlah 2.000 ekor ayam sekali panen. Omzetnya mencapai Rp 180 juta. Apabila dirata-rata keuntungan bersihnya Rp 9 juta setiap kali pane. Dibantu dua orang pekerja tetap dengan upah Rp 1,2 juta per bulan. Ia juga mempekerjakan pekerja lepas dua sampai empat orang yang membantu pemotongan ayam dengan upah Rp 40 ribu per hari.
Info-info PKBL terbatas saat itu. Kebetulan saja ayah mertuanya adalah Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sehingga ia bisa mendapat informasi yang cukup. Pinjaman dari Perhutani Ngawi itu termasuk kecil untuk usaha ternak ayam, tetapi menurutnya sangat membantu. Mendirikan sebuah kandang saja diperlukan biaya Rp 20 – 30 juta. Namun tanpa bantuan PKBL maka usaha yang dibangun dari nol ini akan semakin kekurangan modal dan tidak mampuberkembang seperti sekarang.
Nyamiran mengakui bahwa PKBL sangat berperan membantu permodalannya sejak tahun 2007 sampai sekarang. Sebagai mitra Perhutani, ia memperoleh pinjaman awal sebesar Rp 5 juta, lunas 2010. Pinjaman kedua Rp 20 juta yang pelunasannya masih berjalan hingga akhir 2014. Mengaku pernah meminjam bank sebesar Rp 40 juta, ia harus menerima konsekuensi bunga angsuran per bulannya lebih berat dibandingkan pinjaman dari Perhutani Ngawi. Harapannya, dana PKBL dapat memberikan pinjaman lebih besar dari yang sekarang ini. Supaya peternak kecil di kampong-kampung terbantu semua dari BUMN.
Kini, Nyamiran punya lima kandang. Tiga dibangun sebelum mendapat PKBL, dua kandang setelah mendapat PKBL. Usahanya makin berkembang. Nama “Sriyatin Ayam Potong” setia digunakan untuk usaha. Terpampang di depan rumah. “Nama Sriyatin itu ada di hati saya. Dia mitra kerja sekaligus isteri saya”, demikian Nyamiran mengakhiri wawancara sambil menimbang ayam potong.
Oleh : Soesi Sastro
Sumber : Majalah PKBL Action, No. 25, Th II Oktober