Surga Tersembunyi di Tengah Hutan, Layak Jadi Ikon Wisata Grobogan

KOMPAS.COM (31/10/2017) | Sebagian besar kondisi geografis wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, disesaki oleh kawasan hutan yang lebat. Sejatinya, jamak keindahan alam yang tersimpan di balik menjulangnya pepohonan nan rindang di daerah ini.

Seperti halnya di kawasan hutan Desa Bandungharjo, Kecamatan Toroh, Grobogan. Siang itu, sejumlah seniman barongan terlihat begitu fasih meliuk-liukan tubuhnya dengan diiringi bunyi gamelan, Senin (30/10/2017). Di kawasan hutan milik Perhutani KPH Gundih itu tarian barongan apik tersaji.

Instrumental gambang, gendang dan gong yang dimainkan begitu selaras dan nyaring menggema. Tepukan riuh pengunjung undangan yang mayoritas rombongan pelajar SD dan guru itu pun tak terelakkan.

Pergelaran kesenian khas Jawa yang digagas oleh Perhutani KPH Gundih dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) itu, sengaja digelar untuk menarik simpati masyarakat supaya tak enggan berkunjung ke kawasan hutan Cindelaras.

Ya… warga setempat menyebutnya sebagai hutan Cindelaras. Tersemat mitologi turun temurun bagi warga setempat mengenai asal-usul hutan Cindelaras.

Cindelaras adalah putra Raja Janggala, Panji Asmara Bangun dan istrinya Galuh Candrakirana. Suatu ketika karena terbakar emosi, Panji Asmara Bangun atau Raden Putra mengusir Galuh Candrakirana keluar dari kerajaan. Hal itu setelah merebak fitnah jika Galuh Candrakirana telah meracuni istri muda Panji Asmara Bangun.

Istri muda Panji Asmara Bangun berniat buruk hendak menyingkirkan Galuh Candrakirana. Istri muda Panji Asmara Bangun yang sudah bekerja sama dengan dukun berpura-pura sakit.

Nah dari situlah drama mulai berlangsung. Sang dukun yang dipanggil untuk menyembuhkan penyakit istri muda Panji Asmara Bangun berbohong jika penyebab sakit itu karena racun dari Galuh Candrakirana.

“Galuh Candrakirana yang dalam posisi mengandung Cindelaras diusir dari kerajaan Janggala. Perkembangannya Galuh Candrakirana kemudian melahirkan Cindelaras di hutan ini. Sejak lahir hingga remaja, Cindelaras hidup di hutan ini. Seluruh hewan penghuni hutan adalah temannya,” kata Juru Kunci Hutan Cindelaras, Mbah Rusmin.

Beranjak remaja, Cindelaras memiliki ayam jago aduan yang tiada tanding. Kesohoran ini kemudian terdengar oleh Panji Asmara Bangun. Panji Asmara Bangun kemudian mengundang Cindelaras ke istana. Sang Raja Jenggala menantang Cindelaras untuk sabung ayam.

Panji Asmara Bangun bertaruh bahwa jika ayamnya kalah maka ia akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Akan tetapi, jika ayam Cindelaras yang kalah maka Cindelaras harus rela kepalanya dipenggal.

“Ayam Raden Putra kalah. Setelah itu mendadak ayam Cindelaras berteriak jika Cindelaras adalah anak Raden Putra. Cindelaras yang sudah diberitahu ibundanya pun mengamini. Di situlah Cindelaras dipertemukan dengan ayahnya. Raden Putra kemudian mengajak Cindelaras beserta ibunya untuk kembali ke kerajaan setelah mengetahui apa yang terjadi adalah fitnah. Ia menyesal dan meminta maaf. Istri mudanya serta dukun itu kemudian dihukum,” kata Mbah Rusmin.

Hutan Cindelaras seluas 33 hektar itu semula di tahun 1979 disulap oleh KPH Gundih menjadi obyek wisata alam dan religi. Namun karena minimnya dana untuk pengelolaan, obyek wisata Cindelaras menjadi terbengkalai.

Sungguh di luar perkiraan, kesunyian obyek wisata Cindelaras ternyata menyuguhkan keindahan alam yang luar biasa. Ibarat sebagai surga yang tersembunyi di tengah rimbunnya kawasan hutan.

Memasuki gerbang Cindelaras, rasa sejuk mulai terasa hingga merasuk tulang. Di obyek wisata Cindelaras, pohon-pohon tinggi besar berjenis mahoni, johar, akasia dan kayu putih meredam panasnya sinar matahari menyengat tubuh.
Melangkah sekitar 20 meter menuju jalan yang menurun, mata kita dimanjakan oleh waduk tadah hujan dengan airnya yang mengalir menuju ke lahan pertanian warga sekitar.

Di sini para pengunjung bisa melepas penat dengan duduk di gazebo yang tersedia. Sayangnya, gazebo itu telah usang dan nampak kotor.

Dari spot ini kita kemudian diarahkan berjalan melewati jembatan kecil yang di bawahnya ada derasnya arus air nan jernih yang merupakan aliran air dari waduk.

Setelah itu kita diharuskan mendaki perbukitan yang dikelilingi semak-semak daun pandan serta pepohonan rindang. Kaki kita dibawa menanjak melalui anak tangga yang terbuat dari semen sejauh sekitar 60 meter.

Pengunjung akan menyaksikan sebuah sendang kecil peninggalan Galuh Candrakirana dan Cindelaras. Air di sendang itu diyakini bertuah, bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Banyak warga dari berbagai daerah sering berkunjung ke sendang ini untuk sekadar membasuh muka, minum maupun mandi air sendang.

Turun dari lokasi sendang, pengunjung diarahkan berjalan melewati bukit kembali dengan jalur lain.

Di sinilah lokasi puncak bukit di mana terdapat sebuah bangunan seperti gubuk kecil. Di dalam gubuk itu dipercaya sebagai tempat Cindelaras bertapa atau istilahnya petilasan Cindelaras.

Di lokasi ini pengunjung bisa bersantai, duduk berpayung teduh pepohonan dengan menikmati pemandangan alam hutan, sawah dan pedesaan dari atas perbukitan.

“Lokasi ini paling saya suka. Karena bisa melihat pemandangan alam dari atas. Kebetulan saya juga pertama kali ke sini. Benar, ini adalah surga di tengah hutan. Harusnya bisa jadi ikon Grobogan. Sayangnya tidak ada perawatan, jadinya mangkrak. Dari Purwodadi saja, saya tanya kesana kemari tak ada yang tahu wisata Cindelaras. Seandainya saja bisa dikelola dengan baik, pasti banyak pengunjung, karena ada cerita rakyatnya juga,” kata Agus Setiawan Wibisono (38), warga Purwodadi.

Wakil Kepala Administratur KPH Gundih, Kuspriyadi, menyampaikan, pihaknya berharap ada sentuhan dari investor yang berkenan mengembangkan obyek wisata Cindelaras. Karena sejauh ini pihaknya mengaku kesulitan anggaran untuk mempercantik obyek wisata Cindelaras.

Praktis secara perlahan obyek wisata yang seharusnya bisa digarap menjadi andalan Kabupaten Grobogan ini kondisinya semakin tak terurus.

“Dulu banyak pengunjung dan ada tarif tiket masuk. Per hari bisa ratusan orang. Bahkan sering dipakai untuk kegiatan perkemahan Pramuka. Tapi perlahan pengunjung mulai hilang, karena minim dana untuk perawatan. Sosialisasi juga tak ada. Kami berharap ada investor yang mau mengembangkan obyek wisata di atas lahan perhutani ini,” kata Kuspriyadi.

“Lihat saja keindahan serta nilai sejarahnya. Tak kalah dengan obyek wisata lain. Saat ini kami hanya bisa menggelar kegiatan seni yang berpesan kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian Hutan Cindelaras. Asal-usul Cindelaras di sini bukan bualan, bahkan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat sering berkunjung ke sini. Warga juga banyak yang menggelar ritual ngalap berkah di sini,” kata Kuspriyadi.

Sumber : kompas.com

Tanggal : 31 Oktober 2017