Tiga Jawara Lingkungan Hidup

Di ajang Indonesia Green Region Award (IGRA) kali ini, tiga kota dinilai memiliki kepedulian atas keberlangsungan lingkungan hidup dan tata kelola hutan secara terencana dan masif. Pemerintah daerah di ketiga kota itu membuat kebijakan yang prolingkungan hidup dan hutan. Dengan komitmen tersebut, mereka menggeber beragam inovasi. “Mereka sudah mengubah kultur dan tentu birokrasi dengan baik. Mereka menjadi agen perubahan. Mendorong kebijakannya berubah. Sehingga mereka patut diberi apresiasi,” ungkap Chalid Mohammad, salah satu juri IGRA.
Bagaimana mereka menunjukkan komitmen yang penuh terhadap lingkungan hidup dengan hasil yang bisa dilihat nyata? Inilah profil tiga juara IGRA Lingkungan Hidup.
-Kabupaten Bojonegoro Sukses Dengan Gerakan Sedekah Pohon
Bojonegoro memang layak menjadi juara IGRA. Wilayah seluas 230.706 ha yang dibelah oleh Sungai Bengawan Solo dari barat sampai timur ini bisa menjadi contoh potret sebuah kabupaten yang memiliki kepedulian atas keberlangsungan lingkungan hidup secara terencana dan masif yang dituangkan melalui beberapa kebijakan Pemerintah Kabupaten untuk membuat kebijakan yang pro lingkungan hidup.
Kondisi Bojonegoro yang banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau, dikarenakan tanah yang dimiliki didominasi jenis tanah aluvial dan grumusol, berupa tanah liat yang memiliki sifat sulit untuk meresapkan air. Tak pelak, apabila musim hujan, air hujan langsung mengalir ke Bengawan Solo dan hanya sedikit yang tertampung (baik di dalam tanah maupun di permukaan tanah). Ini mengakibatkan banjir saat musim hujan terutama daerah yang berada di sepanjang Bengawan Solo. Kondisi seperti ini juga mengakibatkan air permukaan habis (kering) dan cadangan air dalam tanah sangat minim pada musim kemarau, sehingga menyebabkan bencana kekeringan.
Selain tantangan sumber daya lingkungan, seperti dituturkan Bupati Bojonegoro Suyoto, aktivitas masyarakat (pengelolaan sampah, perilaku dalam hal buang air besar, kurangnya ruang terbuka hijau, kerusakan sungai dan hutan, serta pemanasan global) semakin mem-perpelik kondisi yang dihadapi masyarakat Bojonegoro. Suyoto pun menggeber perbaikan lingkungan sejak diangkat menjadi bupati pada 2008. “Persoalan lingkungan hidup adalah persoalan yang sangat serius dan tidak bisa dikelola secara parsial,” katanya tandas.
Bagi Suyoto, memperbaiki lingkungan harus menjadi way of life, bukan sekadar formalitas. “Jadi, setiap strategi kami dalam perbaikan lingkungan harus menjadi way of life,” imbuh kelahiran 1965 ini. Karena itu, ia mengeluarkan 7 isu penting dalam penataan Bojonegoro. Salah satu poin terpentingnya adalah isu menjaga dan memperbaiki lingkungan hidup. Menurutnya, segala program lingkungan hidup yang menjadi way of life itu harus masuk di dalam seluruh perilaku semua pihak di Bojonegoro.
Baik perilaku dari pemerintahan, sosial, pendidikan, bisnis dan segala elemen dari atas sampai bawah menjadikan lingkungan sebagai way of life. Pelanggarnya diberi sanksi yang sudah diatur dalam perda dan UU daerah.
“Tapi kami punya pengalaman, sanksi tersebut tidak efektif bagi masyarakat yang secara finasial dan kultural adalah miskin. Hanya menambah orang masuk penjara,” ungkapnya.
Menurutnya, supaya kontinu, program lingkungan hidup harus masuk dalam segala sistem. Harus diedukasi lewat pendidikan, gerakan ormas, sosial dan keagamaan. Menjadikan setiap kebijakan pemerintah yang dicantumkan dalam dokumen politik Rencana Jangka Panjang dan Menengah. “Kami berharap secara struktural ataupun kultural dapat terjadi sinergitas agar dapat menjadikan kondisi lingkungan hidup di Bojonegoro yang lebih baik lagi,” ucapnya.
Sebut saja penanaman satu miliar pohon yang telah dilakukan sejak 2010 dengan hasil capaian 100% berupa rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan konservasi/lindung/mangrove. Juga pembuatan kebun bibit rakyat, penanaman penghijauan lingkungan, pembuatan Hutan Tanaman Rakyat oleh kelompok masyarakat, reboisasi oleh Perum Perhutani, penanaman penghijauan kanan kiri jalan, dan penanaman penghijauan jenis buah-buahan. Sementara curah hujan tinggi yang sebagian belum tertampung secara maksimal menurutnya menjadi inspirasi program pembangunan 1.000 embung. Sampai 2014, pembangunan embung sudah sebanyak 314.
Untuk mengendalikan banjir dibuat program normalisasi kali yang dilaksanakan secara swakelola. Kali dibuat menjadi lebih dalam dan lebar. Juga dibuat tanggul untuk melindungi hamparan sawah pada saat banjir. Diakuinya, hasilnya sangat luar biasa. Arus air menjadi lancar, terutama saat debit air tinggi (banjir). Lalu pada musim kemarau dapat berfungsi sebagai embung/saluran air di beberapa kali, dengan memanfaatkan air dari Bengawan Solo. Juga dapat meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan petani di bantaran kali.
Program lainnya adalah mengembangkan gas metana (energi alternatif) di TPA Banjar-sari, membuat biopori, sumur resapan di kawasan budidaya, permukiman, perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas umum lainnya. Serta program Gerakan Bangga Bojonegoro Bersih, Sehat, Indah, Asri, dan Rapi {Gerbang Bojonegoro Bersinat) dalam bentuk evaluasi dan monitoring di tingkat desa/ kelurahan di 28 kecamatan yang ada di Kabupaten Bojonegoro.
Diakuinya, karena lingkungan hidup telah menjadi bagian dari kesadaran bersama, maka pembiayaannya juga sama-sama. Mana yang ditanggung pemerintah, masyarakat ataupun pebisnis. “Semua pihak terlibat, istilahnya co-creating. Sama-sama melakukan, dan mencipta-kan sesuatu bersama-sama,” ungkapnya. Adapun anggaran dari pemda sendiri, sebut saja untuk program penanaman satu miliar pohon, pihaknya mengalokasikan anggaran tahun 2010 Rp 2,1 miliar dari APBN dan Rp 300 juta dari APBD. Lalu, untuk pembangunan embung sebesar Rp 28,97 miliar (anggaran 2013) dan pada 2014 sebesar Rp 9,09 miliar dari APBD. Sementara untuk program pengendalian banjir, dialokasikan sebesar Rp 8,09 miliar.
Di mata salah satu juri ajang IGRA, Emil, Bojonegoro dapat mengidentifikasi masalah lingkungan di daerahnya dan dapat memberikan solusinya. “Bojonegoro juga melihat unsur manusia itu penting dalam pembangunan berkelanjutan. Itu adalah hal yang positif. Untuk pendanaan di Bojonegoro saya rasa juga sudah cukup baik,” ujarnya. Hal senada pun dikatakan Chalid Mohammad dari Institut Hijau Indonesia, yang juga juri IGRA. “Saya melihat leader dari Bojonegoro itu menunjukkan komitmen yang penuh terhadap lingkungan hidup. Ada hasil yang bisa dilihat,” tuturnya.
-Kabupaten Banyuwangi Sukses dengan Gerakan Sedekah Pohon
Bumi yang hijau adalah rumah bagi semua makhluk hidup, la menjadi tempat berteduh, sumber makanan, sekaligus penghasil oksigen untuk pernapasan bagi semua makhluk yang ada di dalamnya. Kita semua patut menjaganya.” Berangkat dari keyakinan itulah Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mencanangkan gerakan sedekah oksigen. Dijelaskan Anas, sapaan akrab sang bupati, gerakan ini diwujudkan dalam gerakan menanam pohon yang bukan semata untuk penghijauan, tetapi juga menyuplai kebutuhan oksigen masyarakat, la menganalogikan, di rumah sakit, harga oksigen Rp 25 ribu per liter. Jika dijumlahkan, berdasarkan kebutuhan oksigennya, setiap orang harus mengeluarkan Rp 67 miliar per tahun untuk membeli oksigen. “Kesadaran ini yang menjadi kampanye kami, yang juga menjadi materi khotbah di berbagai tempat dari semua agama, karena banyak orang yang cacat otaknya karena kekurangan oksigen. Jadi, sekali lagi, penanaman pohon bukan sekadar penghijauan tapi adalah kebutuhan,” paparnya.
Bahkan, Anas mengeluarkan berbagai ketentuan agar masyarakat terdorong untuk menanam pohon. Naik pangkat harus tanam pohon, akan menikah dan kalau bercerai harus tanam pohon. Dengan cara-cara tersebut, pihaknya mendorong masyarakat ikut berpartisipasi dalam penghijauan. Gerakan sedekah oksigen ini melibatkan seluruh elemen. Masyarakat luas bisa menyumbang satu tanaman. Dan, secara berkala pihaknya akan melaporkan perkembangan tanaman itu melalui e-mail, sehingga penyumbang tahu dan percaya bahwa tanamannya tumbuh baik di Kabupaten Banyuwangi. Bahkan, ke depan, publik bisa mengakses informasi tersebut melalui situs web.
Penanaman pohon dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis seluas 1.420 ha dan di sepanjang sempadan sungai seluas 32 ha. Sepanjang 2012, sebanyak 3.778.510 bibit berbagai tanaman seperti mahoni, trembesi, sawo kecik, jabon, manggis, melinjo dan meranti ditanam di berbagai lahan, mulai dari kebun rakyat, penghijauan perkotaan dan wilayah industri hingga di sepanjang sungai. Selain itu, ruang publik juga diperbanyak dan ditata dengan baik sehingga menjadi tempat masyarakat berkumpul, berekreasi, berkesenian, dan bahkan bisa berdiskusi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Tidak hanya di pusat kota, ruang terbuka hijau sebagai ruang publik juga dibangun di kecamatan-kecamatan lengkap dengan panggung untuk berkesenian.
Menurutnya, selain PNS dan pemda, perusahaan swasta, masyarakat dan sekolah juga terlibat dalam program ini. “Soal lingkungan bukan hanya urusan dinas lingkungan hidup, perke-bunanan dan kehutanan, tapi jadi komitmen stakeholder kami semua,” ujarnya tandas. Karena itu, penanaman pohon tidak hanya dianggarkan oleh APBD, tetapi juga masyarakat. Total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 10 miliar.
“Ternyata rakyat sangat mampu untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan jika diajak dan dilibatkan,” katanya. Meski begitu, diakuinya, perlu ada konsistensi, kebijakan dan keteladanan. Karena itu, di setiap kantor instansi pemerintah di lingkungan Kabupaten Banyuwangi dibuat lebih ramah lingkungan, mulai dari konsep bangunan sampai tanamannya. Di pendopo Bupati Banyuwangi sendiri ada namanya green house. Konsepnya: di bawahnya tanah, di atasnya rumput dan lain-lain.
Pembangunan Bandara Blimbingsari pun menerapkan green airport dengan konsep yang sustain, hijau dan mengurangi penggunaan energi, serta memberikan ruang publik yang lebih banyak. “Kami juga memiliki program jangka panjang, yaitu ecotourism. Sebuah program yang digagas untuk menjaga lingkungan menjadi bagian dari objek wisata, tanpa harus mengubah alam, dan potensi alam tersebut bagian dari objek wisata,” paparnya.
Terobosan lain terkait penataan ruang juga dilakukan dengan zonasi pengembangan kawasan yang dituangkan dalam peraturan daerah. Dalam perda, diatur zonasi wilayah pengembangan daerah. Semisal kecamatan A masuk zonasi kawasan industri, maka advis perencanaan investasi diarahkan ke kecamatan itu. Sementara kecamatan B jadi kawasan bandara, maka pengembangannya sebagai daya dukung bandara. Kebijakan tata ruang Banyuwangi pun dinilai unggul, karena mampu mengakomodasi kearifan lokal. Misalnya, untuk kebijakan pembangunan hotel, desain hotel harus menonjolkan ornamen khas Banyuwangi.
Bahan baku bangunan harus pula mengandung unsur material lokal.
Berbagai terobosan yang dibesut Anas mengantarkan kota di ujung timur Pulau Jawa yang dijuluki The Sunrise of Java ini berhasil meraih Piala Adipura tingkat nasional. Banyuwangi pun diganjar penghargaan sebagai kabupaten dengan penataan ruang terbaik se-lndonesia dan jawara penanaman satu miliar pohon di Indonesia.-
-Kabupaten Malang Mengubah TPA Menjadi Destinasi Wisata
Sejak beberapa tahun lalu, Kabupaten Malang kerap dikunjungi para kepala daerah dari kabupaten atau kota lain di Indonesia untuk belajar mengelola sampah. Mereka datang ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, PLTM Sumber Maron di Kecamatan Pagelaran dan Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Talangagung, Kepanjen. Pengelolaan sampah berbasis reduce, reuse, recycle (3R)) di TPST yang dikelola oleh masyarakat melalui wadah Kelompok Swadaya Masyarakat Mulyoagung Bersatu ini mampu menyisakan 16% sampah untuk dibuang ke TPA sampah.
TPST mampu mengelola sampah dengan volume lebih dari 60 m3/hari dari sekitar 5.903 rumah di kawasan Mulyo Agung. TPST juga mampu memilah 45% dari volume sampah menjadi barang yang siap digunakan kembali dan 39% menjadi pupuk kompos. Sebagai contoh, sampah plastik, besi ataupun sampah lainnya yang masih bisa terpakai, didaur ulang menjadi berbagai kerajinan. Adapun sampah yang tidak bisa diolah ataupun didaur ulang, dihancurkan dengan dibakar. Semua kegiatan dan prosesnya dilakukan sendiri oleh warga.
TPST yang dibangun pada 2010 dan 2012 dengan biaya Rp 2,8 miliar – perinciannya: dari APBN 2010 Rp 1,2 miliar, APBN 2012 Rp 1,03 miliar, APBD Rp 500 juta, PNPM Mandiri Rp 100 juta, CSR Rp 13 juta, dan swadaya masyarakat sekitar Rp 20 juta – ini justru menjadi berkah bagi masyarakat, selain tentunya mencegah pencemaran lingkungan. Saat ini terdapat ratusan warga Desa Mulyoagung yang menggantungkan hidupnya pada TPST tersebut, seperti menjadi pekerja, perajin, ataupun mengumpulkan barang bekas untuk dijual kembali.
Adapun TPA Talangagung menjadi tempat yang menyenangkan karena diubah menjadi tempat wisata edukasi. TPA yang berada di tengah kota ini dibuat seperti bumi perkemahan. Di sini tumpukan sampah dijadikan sebagai penghasil biogas yang kemudian disalan global yang menjadi isu utama dalam pengendalian pencemaran udara, salah satunya disebabkan pengelolaan sampah dan limbah yang belum optimal. Karena itu, Pemda Malang menggagas berbagai program seperti kampung mandiri energi proiklim Desa Talangagung Kepanjen, TPA wisata edukasi Talangagung, ruang terbuka hijau, pengelolaan sarana air bersih berbasis masyarakat, pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat. “Program-program tersebut kami rancang untuk mengatasi persoalan lingkungan,” katanya.
Menurutnya, keberhasilan program lingkungan tersebut berkat dukungan dari semua elemen masyarakat. “Tanpa mereka, semua program tersebut tidak bisa berjalan dengan maksimal,” katanya. Dengan sosialisasi dan edukasi yang terus-menerus, masyarakat menjadi paham dampak lingkungan terhadap kualitas hidup mereka sendiri. Selama ini, imbuh dia, tidak ada sanksi atau hukuman yang diberlakukan bagi masyarakat yang misalnya melanggar ketentuan lingkungan.
Manfaat yang bisa dirasakan masyarakat antara lain kampung mandiri energi proiklim Desa Talangagung Kepanjen. “Kami memasang jaringan distribusi perpipaan gas metana langsung ke rumah warga sekitar TPA untuk kebutuhan memasak sehari-hari,” ujarnya. Dari sisi kelembagaan, Kabupaten Malang juga memiliki Badan Lingkungan Hidup. Terpenting pula, mempunyai payung hukum berupa peraturan daerah yang mengatur tentang tata ruang daerah Kota Kepanjen. Ada pula perda yang mengatur sanitasi perkotaan. Jadi, tidak mungkin ada pembangunan meskipun statusnya masih tanah biasa, kalau ternyata di bawahnya sudah tergambar peta sanitasi. Peta drainase Kota Kepanjen pun sudah ditetapkan. Pihak Pemda mengajak perusahaan-perusahaan dengan CSR-nya untuk aktif dalam kegiatan terkait masalah lingkungan hidup.*
Sumber  : SWA
Tanggal  : 6 Pebruari 2015

Share:
[addtoany]